Di Jakarta pada 19 Agustus 1945 terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan Kooti. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari Yogyakarta Kooti, meminta pada pemerintah pusat supaya Kooti dijadikan 100% otonom. Kemudian kedudukan Kooti ditetapkan status quo
sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi
kedua penguasa tahta Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap
resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.
Pada tanggal 1 September 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan Yogyakarta Kooti Hookookai.
Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi, barulah
Sultan HB IX mengeluarkan dekrit kerajaan yang dikenal dengan Amanat 5
September 1945 . Isi dekrit tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta
ke dalam Republik Indonesia. Dekrit dengan isi yang serupa juga
dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.
Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota
dalam lingkungannya pada 1945 adalah pada saat berintegrasi wilayah
kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:
- Kabupaten Kota Yogyakarta dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
- Kabupaten Sleman dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
- Kabupaten Bantul dengan bupatinya KRT Joyodiningrat,
- Kabupaten Gunung Kidul dengan bupatinya KRT Suryodiningrat,
- Kabupaten Kulon Progo dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:
- Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
- Kabupaten Adikarto dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya
wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing
kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja. Mereka juga mengepalai
birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi
kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan
Kota di DIY sampai tahun 1950.
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga
menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan
Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena
perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi
daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang
menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang
terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan.
Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY
(Dewan Daerah) pada 18 Mei 1946 mengeluarkan Maklumat No. 18 yang
mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif . Maklumat ini adalah
realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada 24 April
1946. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan
digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana
maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana
maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah
Yogyakarta tersebut. Dalam maklumat ini secara resmi nama Daerah
Istimewa Yogyakarta digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan
dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa.
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil KMB, Indonesia memasuki
babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukota di
Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari Republik
Indonesia Serikat (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai 17
Agustus1950. Secara formal dibentuk dengan UU No. 3 Tahun 1950 yang
diubah dengan UU No. 19 Tahun 1950. Kedua UU tersebut diberlakukan mulai
15 Agustus1950 dengan PP No. 31 Tahun 1950. UU 3/1950 tentang
Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal
dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya
mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan,
serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri
adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi
DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU
pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948. Dalam UU 3/1950
disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat Popinsi bukan sebuah Propinsi.
Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi
hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan
wakil kepala daerahnya. Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki
konstitusional. Kemudian pada tahun 1951 Yogyakarta menyelenggarakan
pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk
memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten.
Perubahan yang cukup penting, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah.
Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah Negara Gung
yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan Kori dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota seperti yang sekarang.
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur
dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini
diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 UUDS 1950.
Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum maupun
penjelasannya.
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam
kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro
Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno. Subtansi Istimewa
bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
- Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal-usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia serta bukti - bukti authentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
- Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
- Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta tetap dalam kedudukannya dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.